Reformasi Manajemen Keuangan Daerah


Perkembangan manajemen keuangan daerah di Indonesia cukup lamban dalam pergerakaannya hampir 2 dasarwarsa dibanding negara-negara maju di Eropa dan AS. Bahkan di negara tetanggapun masih dibilang terlambat. Beberapa negara tetangga seperti Singapura yang menggunakan anggaran berbasis kinerja tahun 1980, sedangkan Indonesia baru menerapkan tahun 2001. Dalam aspek historis, perkembangan reformasi manajamen keuangan daerah di Indonesia mengalami tiga fase pembagian adapun 3 fase tersebut yaitu:
1.    Fase Pra Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal (1974-1999), dalam fase ini sanga diselimuti dengan kekuasaan Orde Baru yang berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1974 dengan sifat sentralistisnya, yakni top down dan budgeting. Saai itu penggunaan system akutansi kita terbilang tradisional dengan menggunakan system pembukuan tunggal dan akutansi berbasis kas.

2.  Era Transisi Otonomi (2000-2003). Pasca reformasi dimana seluruh system pemerintahan di Indonesia mengalami banyak perubahan besar khususnya dalam system pengelolaan keuangan negara dan daerah yang berdasarkan asas desentralisasi yang masih mengalami perbaikan-perbaikan dari segi perangkat hokum, kelembagaan, infrastruktur, dan SDM daerah dalam mewujudkan otonomi daerah itu sendiri.

3.  Era Pasca Transisi (2004-sekarang), pada masa ini diberlakukannya paket peraturan perundangan yang merupakan peraturan menyeluruh dan komprehensif yaitu omnibus regulator yang disesuaikan dengan proses manajemen yaitu perencanaan, pelaksanaan, pelaporan, pengauditan, dan evaluasi kinerja atas pengelolaan keuangan daerah. Adapun omnibus regulator yaitu:
  • UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menggantikan ICW yang masih peninggalan Belanda. 
  • UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. 
  • UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. 
  • UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. 
  • UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 
  • UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. 
  • PP 24 Tahun 2005 tentang Standar Akutansi Pemerintah yang saat ini telah digantikan menjadi PP 71 Tahun 2010 tentang Standar Akutansi Pemerintah. 
  • PP 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. 
  • PP 8 Tahun 2006 tentang Laporang Keuangan Negara dan Daerah. 



Ada beberapa aspek utama reformasi manajemen keuangan daerah yang dapat kita bagi menjadi:

  1. Perubahan system anggaran (dari system anggaran tradisional menjadi system anggaran berbasis kinerja), dalam perubahan system anggaran maka secara atomatis struktur tersebut dapat dikembangkan dalam beberapa poin yaitu pertama, perubahan proses penganggaran dari berisfat sentralistis dan top down diubah menjadi system anggaran partisipatif (bottom up/ participative budget); kedua, program pembangunan lebih banyak ditentukan oleh pemerintah pusat melalui BAPPENAS maka dengan otonomi luas dan nyata pemerintah daerah diberi kewenangan penuh menentukan program pembangunan sesuai kebutuhan daerah; ketiga, sebelum pasca reformasi APBD harus disahkan oleh Presiden melalui mendagri maka dengan otonomi daerah dan desentralisasi fiscal APBD cukup disahkan di DPRD (legislative); dan keempat, struktru anggaran yang tradisional menjadi struktur anggaran berbasis kinerja yang menekankan pencapaian hasil outcome dari program/ kegiatan yang dibiayai APBD dikaitkan dengan target kinerja terukur.
  2. Perubahan kelembagaan pengelolaan keuangan daerah dari system sentralisasi pada bagian keuangan, melalui perubahan system penganggaran berbasis kinerja berimplikasi pada perubahan kelembagaan pengelolaan keuangan daerah. Adapun beberapa perubahan tersebut yaitu pertama, perubahan pengelolaan keuangan di pemerintah daerah dari system sentralisasi pada bagian keuangan secretariat daerah menjadi desentralisasi di SKPD sehingga mengakibatkan masing-masing satuan kerja tersebut harus menyelenggarakan akutansi dan menyusun laporan keuangan SKPD yaitu: LRA, Neraca, dan CALK. BPKD selanjutnya bertugas mengkonsolidasikan laporang keuangan seluruh SKPD menjadi laporan keuangan pemerintah daerah, kedua, fungsi pemungutan pendapatan daerah yang dilakukan dinas pendapatan daerah dengan fungsi pengendalian belanja yang dilakukan biro/bagian  keuangan dalam satu lembaga BPKD, dimaksudkan agar perencanaan dan pengendalian keuangan daerah menjadi lebih mudah dilakukan, komprehensif, dan tidak terfregmentasi.
  3. Perubahan system akutansi dari system tata buku tunggal (single entry book keeping), menjadi system tata buku berpasangan (double entry book keeping).
  4. Perubahan basis akutansi dari basis kas menjadi basis akrual, atau saat ini yang sedang berlangsung yaitu basis kas menuju akrual. Apakah perbedaan basis kas dan basis akrual itu? Basis kas adalah pengakuan atau pencatatan transaksi pada saat kas diterima atau dikeluarkan, sedangkan basis akrual adalah pencatatan atau pengakuan transaksi keuangan pada saat terjadinya proses keuangan yaitu ketika sudah menjadi hak atau kewajiban meskipun belum diterima atau dikeluarkan kasnya.


Sumber: Materi Kuliah dari : Dosen, Drs. Gandhi Manek



By: Ld. Syr
 
 

Posting Komentar

0 Komentar