Tiga Gaya Paradigma Kepemimpinan Manajerial Nabi Muhammad SAW

Assalamualaikum Wr. Wb.
Wahai para sobat kali ini perkenanankan saya untuk sharing lewat tulisan yang sederhana yang masih mempunyai kelemahan. Dalam kehidupan ini kita selalu menginginkan sebuah tokoh yang bisa memberikan inspirasi kepada kita dalam berbagai aspek. Khususnya dalam aspek manajerial kita sebagai umat Islam semestinya nggak terlalu jauh untuk mencari sumber tersebut karena telah ada yang melekat pada diri kaum muslimin yaitu Rasulullah Muhammad Saw yang membawa cahaya dari gelap gulitanya dunia akan kesemerawutannya. Sering kali  kita mendengar dan bahkan membaca literatur tentang kepemimpinan dari berbagai teori orang barat. Sehingga sering menjadi rujukan bahkan kaum musliminpun menekuni teori itu seolah-olah semua bersumber dari para pemikir orang barat tersebut. Dari segi teori memang tidak menimbulkan permasalahan jika dikaji secara keilmuan karena semua itu punya manfaat yang baik.
Namun tanpa disadari jika ditelaah dan disimak secara baik tentu kita terlalu jauh mengambil sandaran yang seharusnya berada dalam jati diri kita yaitu Islam. Dari berbagai literatur yang berhubungan dengan kegiatan pemerintahan sebagaimana tata cara kepemimpinan pemerintahan selalu menggunakan metode pendekatan dan alur pemikiran yang bersumber dari barat. Sehingga sulit untuk dielak bahwa kaum muslimin saat ini mengalami penciutan pemahaman tentang kepemimpinan Rasulullah Saw yang tertera dalam agama Islam sendiri sebagai panutan umat. Seyogyanya sebagai kaum muslimin kita perlu memahami terlebih dahulu nilai-nilai yang ada pada Rasulullah Saw yang banyak mengajarkan suatu hal, disamping akidah Nabi Muhammad Saw terkenal juga dengan kepimpinannya dalam mengembangkan sebuah organisasi pemerintahan. Perkembangan Islam tidak lepas dari sifat teladan yang ditunjukkan Nabi Muhammad Saw dalam berorganisasi untuk mencapai tujuan mulia yaitu menyebarkan Islam diseluruh dunia, sehingga kita lihat saat ini bagaimana perkembangan Islam sangat pesat itu tidak lepas dari seorang pemimpin terbaik yaitu Baginda Rasulullah Saw.
Model yang dapat menjadi tolak ukur dalam mengembangkan organisasi dengan paradigma kepemimpinan Rasulullah Saw dapat kita jelaskan dalam model bagan dibawah ini[1]:


Menyimak bagan diatas menunjukkan visi berorientasi pada keagungan (tauhid) dengan misi yang merujuk pada sebuah kesepahaman yang melibatkan komitmen dalam pencapaian tujuan yang hakiki yang berupa hasil dari internalisasi nilai-nilai Ibadah didalam melaksanakan sebuah kegiatan dengan hasrat dan kemauan untuk berbuat dan meninggalkan perbuatan jahat, yang tervisualisasi dalam sebuah ketaatan kepada Allah Swt.
Menjadi pemimpin harus dimulai dari nilai pribadi yang dapat memberikan sumbangsih kepada anggotanya dan bias muncul sebagai pemimpin yang efektif dalam peran sebagai wakil. Untuk mempelajari paradigma berpikir Rasulullah Saw dalam pengembangan organisasi kita akan terlebih dahulu membahas tiga gaya kepemimpinan Islam yaitu sy’ura (permusyawaratan), adl bil qisth (keadilan, disertai kesetaraan), hurriyah al-kalam disertai dengan adab al-ikhtilaf (kebebasan berekspresi dengan disertai etika dalam perbedaan pendapat).
Syura (Musyawarah) merupakan proses pemecahan masalah terbaik dengan cara yang baik dan mufakat, namun musyawarah yang dimaksud kali ini bukanlah yang sering dpraktikkan dalam demokrasi ala barat melainkan musyawarah Islam yang aturan-aturannya sesuai dengan Syariat Islam bukan berdasarkan pemikiran manusia yang memiliki kelebihan dan kekurangan sehingga secara fakta dapat dilihat saat ini ketika semua berdasarkan pemikiran manusia yang serba keterbatasan selalu mandek dalam proses implementasi terhadap apa yang mereka buat. Sehingga selalunya ujung-ujungnya bias dalam konsep belaka. Tujuan Syura yaitu mencapai kesepakatan dalam mencapai solusi dengan pragmatis dan dapat diterima semua orang, adapun yang berlaku kontra tidak melalukan sabotase ketika kesepakatan tercapai.
Adl bil qisth, (Keadilan) atau kesetaraan, sifat adil hanya dapat muncul akibat akhlak yang baik, sifat ini sangat penting sebab seandainya terdapat ketegangan atau keabsolutan tata aturan tertentu yang tidak adil jika diterapkan secara harfiah. Dari Aisyah RA, istri Rasulullah, bahwa orang-orang Quraisy merasa kebingungan dengan masalah seorang perempuan Makhzumiah yang mencuri pada masa Nabi Muhammad SAW, ketika penaklukan kota Makkah. Kemudian mereka bertanya, "Siapa yang berani membicarakan masalah ini kepada Rasulullah SAW?" Dengan serentak mereka mengusulkan, "Tidak ada yang berani melakukan hal ini kecuali Usamah, yang dicintai Rasulullah SAW." Akhirnya perempuan itu dibawa menghadap Rasulullah. Kemudian Usamah bin Zaid membicarakan masalah perempuan tersebut kepada beliau. Setelah mendengar penjelasan Usamah itu, tiba-tiba wajah beliau berubah menjadi merah. Lalu beliau bertanya,"Apakah kamu ingin bersikap kasihan dalam hukum Allah?" Mengetahui hal itu Usamah pun berkata kepada beliau, "Maafkanlah saya ya Rasulullah!" Sore harinya Rasulullah SAW berdiri dan berpidato di hadapan kaum muslimin. Setelah memanjatkan puji kepada Allah, beliau pun mulai berkata, "Amma ba'du, sesungguhnya yang membuat binasa orang-orang sebelum kalian adalah manakala ada orang yang mulia dan terhormat di antara mereka mencuri, maka mereka pun membiarkannya. Sebaliknya, manakala ada orang yang lemah dan hina di antara mereka mencuri, maka dengan segera mereka melaksanakan hukuman atasnya. Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalau seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya saya akan memotong tangannya." Akhirnya Rasulullah pun memerintahkan para sahabat untuk memotong tangan perempuan yang mencuri itu. Aisyah RA berkomentar, "Setelah peristiwa itu perempuan tersebut bertaubat dengan sebaik-baiknya dan menikah. Hingga pada suatu ketika, ia datang kepada saya untuk minta tolong mengajukan hajat permintaannya kepada Rasulullah. Lalu saya pun memenuhi permintaannya tersebut." (HR. Muslim). Inilah salah satu keadilan yang ditunjukkan Rasulullah Saw, yang mana hukum harus ditegakkan dikalangan manapun tanpa terkecuali melihat jabatan atau status sosial seseorang, perhatikan fenomena yang sering ditayangkan di televise kita dimana hukuman seorang anggota pejabat dan seorang nenek tua yang mencuri buah coklat sangat jauh perbandingan hukumannya yang mana seorang pejabat tersebut dengan menghabiskan uang Negara bermilyar-milyar dapat menikmati keindahan di penjara dengan fasilitas yang lengkap sedangkan seorang Ibu tersebut yang seharusnya dapat dilakukan sebuah negosiasi dengan baik malah mendapat hukuman yang tidak rasional.
Gaya ketiga adalah Hurriyah al-kalam Gaya ketiga adalah Hurriyah al-kalam yang dibarengi dengan ijtihad, yang mendorong seseorang untuk menjadi yang terbaik dalam hal kemampuan mencapai suatu tingkat pemahaman untuk membentuk opini. Ijtihad adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang[2]. Makna diatas membenarkan bagaimana sikap seorang Ijtihad dalam konteks organisasi menyatakan kualitas individu yang keilmuannya telah terbukti. Kebebasan berkespresi bukanlah kebebasan yang diberikan seluruhnya (full freedom) namun harus berdasarkan pemahaman yang baik dalam menetapkan sebuah kebijakan sesuai keilmuannya yang berlandaskan asas Islam serta di kontrol dengan adab al-ikhtilaf yang menuntut kesopanan sambil melatih hak untuk berbeda pendapat sehingga niat baik bisa dipertahankan dalam proses komunikasi dan debat.
Ketiga gaya kepemimpinan terapan ini berjalan seiring dengan ajaran yang menegaskan aspek-aspek sistem nilai Islam penting, yaitu: (1) Al-kamal asy-saykshi atau integritas pribadi, (2) Taqwiyah al-shilah atau perbaikan hubungan, (3) Fa’liyyah al-qiyadiyyah atau daya kepemimpinan, (4) Makarim al-akhlaq atau perilaku etis dan (5) Tahzibal al-akhlaq atau peningkatan moral melalui pengetahuan spiritual.[3] Semua itu tertanam dalam prinsip-prinsip Islam yang sudah jelas tuntuanannya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.Dalam konteks pengembangan organisasi, yang paling tepat adalah melakukan pelatihan, pembelajaran melalui pengalaman atau proses pembudayaan untuk membentuk perpaduan berbagai aspek dalam menanggapi kelemahan. Setiap pengembangan yang dilaksanakan haruslah bentuk strategi jangka panjan bukan instan untuk membentuk atau mendekati sebuah kesempurnaan sekaligus meningkatkan nilai kompetitif.
Dengan mencoba pendekatan tiga gaya kepemimpinan ini seandainya dapat diaplikasikan dengan baik dalam mengembangkan sebuah organisasi, maka tidak absurd organisasi itu dapat berkembang sesuai tujuan yang ingin dicapai. Melalui tulisan ini sebenarnya bukan menunjukkan sebuah fatwa melainkan mengantar opini di publik untuk menjelaskan bahwa Rasulullah Muhammad Saw memiliki sebuah nilai-nilai yang dapat mengantarkan kita kepada kebaikan bukan hanya sekilas tentang spiritual melainkan dalam berorganisasi pun telah diatur, inilah bentuk kesempurnaan beliau. Semoga artikel singkat ini dapat bermanfaat dan memberikan penjelasan dasar melalui tiga gaya kepemimpinan yang dimiliki Rasulullah Muhammad Saw, adapun terlepas dari kesalahan itu berasal dari saya sendiri, seketika muncul sebuah kesilapan dalam pemahaman yang tertuang di artikel ini semua bersumber dari pribadi saya sendiri dan saya sebagai penulis pun menerima kritikan dan komentar dari berbagai pihak. Semoga bermanfaat.



[3] Buku: Manajemen Kepemimpinan Muhammad Saw Oleh Ismail Noor Hal. 24-25


[1] Buku: Manajemen Kepemimpinan Muhammad Saw Oleh Ismail Noor Hal. 22

Posting Komentar

0 Komentar