Demokrasi Dan Negara Hukum Yang Bergeser Di Bayang Kehancuran



Oleh
Laode Syarif

Lalu lalang kehidupan hukum di Indonesia menghasilkan cerita unik yang bertengger dalam dunia hukum. Seperti yang dikatakan Indonesia merupakan negara hukum. Senada dengan Plato, tujuan negara menurut Aristoteles adalah untuk mencapai kehidupan paling baik (the best life possible) yang dapat dicapai dengan supremasi hukum. Hukum adalah wujud kebijaksanaan kolektif warga negara (collective wisdom) sehingga peran warga negara diperlukan dalam pembentukannya. Tentu cerita tenang hukum di Idonesia masih memiliki kelumit permasalahan yang tak kunjung usai, baik dari segi penegakan dan kepastian hukum dalam mengatur warga negara Indonesia itu sendiri.
Konsep negara hukum sangat berkaitan dengan demokrasi yang diterapkan di Indonesia, sebab menurut Stahl, konsep negara hukum yang disebut dengan istilah rechtstaat mencakup empat elemen yaitu; 1) Perlindungan hak asasi manusia, 2) Pembagian kekuasaan, 3) Pemerintahan berdasarkan undang-undang, dan 4) Peradilan tata usaha negara konsep yang ditawarkan tersebut telah jelas dari segi implementasi yang ada di pemerintahan Indonesia telah terlaksana secara keseluruhan. Akan tetapi tugas negara bukan hanya menjaga stabilitas masyarakat melainkan mensejahterakan masyarakat itu sendiri. Hukum dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi, sebab jika tidak maka para diktator akan bermunculan alias penguasa yang otoriter akan merajalela disinilah demokrasi turun sebagai demokrasi dengan menuangkan paham-paham dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat melalui proses pembagian kekuasaan Montesque (Yudikatif, Eksekutif, dan Legislatif). Dalam perwujudan tersebut gagasan demokrasi tidak boleh lepas dari yang namanya instrument hukum untuk mencegah mobokrasi.
Bercerita tentang mobokrasi secara fakta mulai terlihat banyak pergeseran dari demokrasi itu sendiri dalam menjalankan fungsi pemerintahan menurut Rasyid (1999) meliputi pelayanan publik (public service), pengaturan (regulation), pembangunan (development), dan pemberdayaan (empowerment). Dari fungsi-fungsi tersebut seakan mengalami pergeseran yang merosok banyak kasus yang kita dapatkan dari berbagai media, dimulai pelayanan publik yang belum bisa merata, penegakan hukum yang masih pilih kasih, pembangunan yang masih dimanfaatkan dunia kapitalis dengan mega proyek yang menimbulkan banyak aliran dana gelap dipemerintahan contoh kasus ambalang, dan pemberdayaan yang masih perlu diperhatikan dari segi pendidikan dan penguatan lapangan kerja di Indonesia itu sendiri.
Seperti apa yang dikatakan Prof. Dr. Jimlu Asshidique Jika kekuasaan negara terlalu dominan, maka demokrasi tidak akan tumbuh karena selalu didikte dan dikendalikan oleh negara dimana yang berkembang adalah otorotarianisme. Jika kekuasaan pasar terlalu kuat dibandingkan kekuatan civil society dan negara, berarti mengarah pada kapitalisme yakni capital (pemilik modal), demikian juga jika masyarakat kuat maka akan menimbulkan situasi ketidak teraturan perilaku masyarakat, pemerintahan yang lemah dihadapan masyarakat dan tentu arah yang tidak jelas.
Tentu untuk menyeimbangkan ini berkaitan erat dengan pelaksana pemerintahan dari top, middle, dan down organization, yang mau menjalankan fungsi pemerintahan yang terbagi dalam setiap pembagian kekuasan (montesque). Demokrasi selalu akan meriah dan gemuruh setelah pelaksanaan pemilu yang dipraktekkan pada pemilihan legislatif (DPR, DPD, & DPRD) dan eksekutif (presiden dan kepala daerah) yang berlaku sebagai pembuat kebijakan dimana masih banyak terjadi praktek kongkalikong (kerja sama buruk) dalam pembuatan kebijakan itu sendiri, bahkan tidak ada harmonisasi dari keduanya jika muncul perbedaan pemikiran yang cenderung tidak relevan dengan keinginan para dewan itu sendiri. Para dewan yang terdiri dari berbagai latar belakang pendidikan berbeda serasa masih sangat perlu ditelaah kembali sampai dimana batas kualitas para anggotanya dalam menetapkan kebijakan tersebut sehingga kebijakan itu dapat terlaksana dengan baik bukan cuma sebatas kejar waktu tiap tahun untuk membuat sebuah peraturan. Banyak problematika di masyarakat yang bermunculan dari kalangan elit politik sampai masyarakat, buktinya korupsi seakan mengakar menjadi budaya entah ini hasil dari orde baru atau memang sistem yang terbangun dari konsep pemerintahan yang diterapkan di Indonesia. Hal ini tidak bisa dielakkan akibat dari malpraktik pemerintahan kita dari segi hukum yang belum kuat entah gejala dari penegak hukum atau si pembuat hukum sendiri contoh lapas dengan kamar hotelnya, kasus narkoba di Lapas, bahkan yang lucunya kasus suap polantas di Bali yang merajalela di situs youtube tentu sangat mencoreng profesionalisme penegak hukum itu sendiri. Untuk si pembuat hukum para dewan yang ngantuk ketika rapat dalam menetapkan sebuah kebijakan, jotos-jotosan akibat perdebatan dan pelecehan seksual yang dilakukan para oknum anggota dewan bahkan pejabat daerah yang membuat masyarakat berpikir, apakah ini bentuk keseriusan para dewan atau perwakilan kita di senayan.
Korupsi yang sistemik merajalela sampai ke organisasi paling bawah pemerintahan itu sendiri, contohnya kasus Gayus Tambunan yang tidak akan kita lupakan, penegakan hukum yang lemah bagi para pejabat, sedangkan bagi para pencuri cokelat yang harganya tidak mencapai 10.000 rupiah dapat dipenjara dengan waktu yang lama, dimana keadilan di Indonesia. Ketika bermunculan keluarga kapitalis yang materialistis dengan alasan kesejahteraan, membuat pagar pemisah antara si kaya dan si miskin dengan kesenjangan pendapatan yang jauh, mengisahkan berbagai peristiwa yang terungkap akibat sistem kita yang masih lemah. Tentu sekelumit intermenzo singkat diatas mengungkap berbagai pergeseran makna dari segi masyarakat hingga pemerintahan itu sendiri, ini bukan lagi teoritis belaka tapi fakta yang tidak dapat dipungkiri. Gaya kapitalisme masyarakat Indonesia mulai menggema baik di jalur bisnis maupun pemerintahan.
Intervensi pasar yang tinggi, membuat Indonesia hanya menjadi penonton semata melihat SDA Indonesia terkuras habis misalnya Freeport yang dikuasai oleh pihak asing, hingga sampai saat ini masyarakat Papua masih tidak bisa terlepas dari namanya garis kemiskinan, wajarlah jika terdapat wacana “dimana hasil tambang tersebut berada?”, apakah di negara yang dihabiskan oleh para elit politik dengan kekuasaannya dalam pengambilan keputusan? ataukah pihak asing yang menguras keuntungan sebanyak-banyaknya dan bahkan kedua-duanya lah yang mengakibatkan semua ini terjadi. Serasa telah benar ungkapan Prof. Dr. Jimmy Asshidique tentang demokrasi yang tidak seimbang yang mengambang batas pergeseran makna terhadap fungsi pemerintahan itu sendiri ketika penegakan hukum terlalu tinggi memunculkan otoriterianisme, ketika kapitalis (pemilik modal) kuat mengarah pada kapitalisme, dan masyarakat yang kuat menimbulkan ketidakaturan yang saat ini berproses di Indonesia itu sendiri. Mengenai kasus yang sering mencuat kita seharusnya bisa menjadi bangsa yang mandiri bukan bangsa yang dikuasai secara pemikiran oleh asing, pasti pembaca tulisan saya ini akan bertanya kenapa kita bisa dikuasai? Banyak referensi yang bisa saya ajukan salah satunya  Buku William Blum (mantan Menteri Luar Negeri AS di era Bush) tentang “Demokrasi Ekspor Paling Mematikan ”.
Mungkin tulisan yang singkat ini masih ada fakta-fakta yang belum terungkap dengan jelas, namun saya rasa secara pribadi dapat kita lihat disisi kehidupan sekitar kita, dimana para kapitalis lah yang berkuasa, para pembuat kebijakan lebih terpesona dengan keuntungan dalam setiap kebijakan yang mereka buat untuk kepentingan pribadi, para kapitalis (pemilik modal) yang menutup ruang gerak perekonomian kecil masyarakat. Lihatlah sebuah keunikan dari kekuasaan para kapitalis, mereka mendominasi seluruhnya. Tampaklah di Pejaten Village (salah satu Mall besar Jakarta Selatan) dimana yang dapat menjual di blok mall itu hanyalah orang besar, sedangkan masyarakat kecil kita tak berdaya serasa terdepak dan cuma bisa melihat dari luar dengan jualan kecil-kecilan mereka. Sungguh fenomena yang sangat menyedihkan buat kita.
Inikah negara hukum yang seperti dipaparkan diatas, dimana hukum seakan tidak bisa bergerak dengan leluasa dalam mengatur masyarakat, justru sebaliknya hukumlah yang diambang kehancuran karena gaya demokrasi dalam penetapan berdasarkan suara terbanyak di dewan yang belum tentu memberikan hasil yang bermanfaat. Hukum yang masih bisa dipermainkan oleh pejabat kaya (kapitalis) dipemerintahan membuat mereka leluasa melakukan pergerakan terjun bebas untuk menguras negeri ini, saatnya kita mengubah gaya hidup pemerintahan ini menjadi sederhana namun elegant demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat seperti fungsi pemerintahan yang sebenarnya. Jangan sampai terjerat dalam kehancuran, sehingga mengakibatkan negara gagal yang tak terdeteksi akibat bayang-bayang dunia kapitalis merajelela di Indonesia yang menguras banyak sumber daya negeri tercinta ini.

Daftar Pustaka:
Jimly Asshiddiqie,  Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Cetakan I, (Jakarta: Sinar Grafika 2011)
Muhadam Labolo, Memperkuat Pemerintahan, Mencegah Negara Gagal, Cetakan I (Jakarta: Kubah Imu 2012)

Posting Komentar

0 Komentar