Pembacaan proklamasi kemerdekaan
RI tanggal 17 Agustus 1945 merupakan puncak kejayaan yang dimiliki Indonesia
saat itu. Disinilah awal pemerintahan di Indonesia terbentuk secara legalitas
di mata dunia. Semua ini juga dipelopori semangat para pemuda Indonesia yang
menginginkan sebuah kemerdekaan, disamping itu telah terlahirlah berbagai tokoh
pemimpin yang fenomenal seperti Bung Karno, Bung Hatta, Jenderal Nasution dan
Sultan Hamengku Buwono IX yang membuka kacamata dunia bahwa Indonesia adalah
Negara kuat di Asia saat itu, merekalah para pemimpin yang memiliki keberanian,
integritas, religius, dan kharismatik yang memukau di mata masyarakat
Internasional maupun Nasional. Pasca runtuhnya orde lama maka berganti pula
pemimpin saat itu yang ditandai dengan Orde Baru di masa kepemimpinan Jenderal
Suharto yang terkenal dengan gaya otoriternya yang mana tempo kekuasaanya
berlangsung sangat lama dengan memanfaatkan dunia militer ABRI untuk
berkecimpung di dunia birokrasi pemerintahan sehingga memudahkan kesatuan
komando dalam menerapkan kebijakan yang dibuat oleh pemerintahan saat itu.
Kendatipun terbilang otoriter justru saat itu Indonesia dikenal sebagai salah satu
macan ekonomi di Asia dengan memunculkan pemimpin bisnis yang visioner.
Dibalik kesuksesan pemimpin pada
masa tersebut, terdapat pula problematika pemerintahan yang berkepanjangan dan
hingga kini masih meninggalkan bekas luka yang masih sulit diobati. Ir. Sokerno
yang ditumbangkan melalui pemberontakan PKI dan Nasakomnya. Jenderal Soeharto
terpaksa menyerahkan jabatannya kepada Bj. Habibie akibat amukan masa di
senayan, semuanya tidak terlepas dari Jend. Suharto yang dianggap tokoh utama
dari terjadinya utang Negara Indonesia yang sampai saat ini belum tuntas.
Bahkan pada masa Orde Baru begitu kompleks permasalahan pemerintahan muncul
dari segi ekonomi, politik, hak asasi, korupsi, kolusi, dan nepotisme yang
masih mengakar hingga di era reformasi saat ini.
Bergantinya kepemimpinan di
Indonesia, berganti pula dengan berlangsungnya system pemerintahan Indonesia.
Ir. Soekarno berdiri dengan sistem demokrasi terpimpin yang menuai banyak
permasalahan di Indonesia, sehingga Jend. Soeharto muncul sebagai tokoh
pahlawan baru untuk memperbaiki permasalahan yang ada pada Bung Karno. Maka
muncullah demokrasi pancasila guna melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara
murni dan konsekuen. Untuk menjalankan demokrasi pancasila maka Indonesia
menganut system pemerintahan berdasarkan trias politika (Eksekutif, Legislatif,
dan Yudikatif) melalui ini pulalah lahirlah pemilu dan penataan kembali
pemerintahan Indonesia. Semua itu tidak dapat berjalan dengan baik ketika
kebijakan dwi fungsi ABRI di buat sehingga melahirkan otoriter dari pemimpin
itu sendiri. Gejolak kemelut dunia pemerintahan saat itu membuat Soeharto harus
mengundurkan diri dan diangkatlah Bj. Habibie disinilah awal reformasi hingga
saat ini dengan berbagai pergantian dimulai dari Abdurrahman Wahid, Megawati Sokarno
Putri, dan Susilo Bambang Yudhoyono.
Perjalanan pergantian presiden
Indonesia justru membalikkan keadaan dengan krisis
kepemimpinan. Rakyat Indonesia kehilangan kepercayaan kepada sebagian besar
pemimpinnya; pemimpin politik, pemimpin ekonomi, pemimpin sosial, dan pemimpin
agama mereka. Berlakunya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
yang kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah atau disingkat Pilkada.
Berhubungan dengan itu setelah digagaskan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam rezim
pemilu, sehingga secara resmi bernama Pemilihan
umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pemilukada. Otonomi daerah yang berdiri
dengan asas decentralization dengan
tujuan untuk bias melahirkan pemimpin-pemimpin daerah yang berkompeten dan bisa
peka terhadap masyarakat daerah itu sendiri, namun justru sebaliknya hingga
saat ini pemimpin daerah masih belum bisa mencapai kesuksesan untuk memperbaiki
daerahnya, apalagi berada di daerah yang APBD nya sangat minim, tentuk akan
sulit dalam melaksanakan kebijakan dari segi pembangunan di masyarakat. Bahkan
memunculkan kasus-kasus baru yakni raja-raja kecil yang mempunyai kekuasaan,
bukan hanya itu kasus hukum yang tadinya berada di level pemerintahan pusat
berkembang ke pemerintahan daerah. Seperti yang telah dilansir pada metrotvnews.com,
Jakarta (Senin, 3 Juni 2013), dimana Jumlah kepala daerah
yang tersangkut kasus hukum saat menduduki jabatannya semakin meningkat. Sejak
pemilukada langsung diperkenalkan hingga akhir Mei 2013, jumlah kepala daerah
atau wakilnya yang berurusan dengan aparat hukum mencapai 293 orang.
"Kemungkinan akhir tahun ini bisa mencapai 300 orang," kata Dirjen
Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan ketika dihubungi, Minggu (2/6).
Inilah yang terjadi di Indonesia krisis kepemimpinan sebab para pemimpin
negerilah yang membuat ketidak percayaan lagi masyarakat terhadap pemerintahan
itu sendiri.
Memulai
pembahasan ini lebih lanjut perlu mengetahui apa itu kepemimpinan dan bagaimana
menjadi pemimpin yang efektif, kita perlu tahu apa arti dari kepemimpinan itu
sendiri. Kepemimpinan telah menjadi topik yang sangat menarik dari para ahli
sejarah dan filsafat sejak masa dahulu. Sejak saat itu para ahli telah
menawarkan 350 definisi tentang kepemimpinan. Salah seorang ahli menyimpulkan
bahwa “Kepemimpinan merupakan salah satu fenomena yang paling mudah di
observasi tetapi menjadi salah satu hal yang sulit dipahami” (Richard L.
Daft,1999). Mendefinisikan kepemimpinan merupakan suatu masalah yang kompleks
dan sulit, karena sifat dasar kepemimpinan itu sendiri memang sangat kompleks
sebab pemimpin yang baik dapat menghasilkan kinerja yang baik. Dalam perkembangan
ilmu saat ini telah membawa banyak kemajuan sehingga pemahaman tentang
kepemimpinan menjadi lebih sistematis dan objektif.
Secara umum perkembangan teori kepemimpinan memiliki
perkembangan pesat. Masa kini mulai banyak digemborkan teori kepemimpinan transformasional
yang merupakan hasil suatu perkembangan pemikiran beberapa teoritisi
kepemimpinan. Salha satunya Mac Gregor Burns (1979), kepemimpinan
mentransformasi merupakan kepemimpinan
moral yang meningkatkan perilaku manusia. Dalam pandangan ini Mac Gregor
merupakan proses dua arah yaitu pemimpin mentransformasi pengikut dan pengikut
mentransformasi pemimpin. Disamping itu terdapat pula definisi kepemimpinan
tranformasional yang dikemukakan Benard M. Bass dengan menggunakan istilah 4I;
pemimpin yang perhatian pada individual (Individual
Consideration), pemimmpin menstimulasi para pengikut agar kreatif dan
inovatif (Intelelectual Stimulation),
pemimpin yang menciptakan para gambaran yang jelas mengenai sebuah visi (Inspirational Motivation), pemimpin yang
bertindak sebagai panutan (Idealized
influence).
Tentu bukan hanya sebatas mengenai kepemimpinan
transformasional terdapat juga berbagai macam teori yang sangat berkaitan
dengan kepemimpinan yang pernah diterapkan di Indonesia sebagai berikut: 1).
Teori kepemimpinan karismatik, menurut Weber kepemimpinan karismatik mempunyai
kapasitas untuk mengubah sistem sosial yang ada berdasarkan persepsi pengikut
yang percaya pemimpin ditakdirkan mempunyai kemampuan istimewa, pemimpin
karismatik tentu sangat dibutuhkan dalam kondisi kritis seperti halnya
Indonesia dibawah kepemimpinan Bung Karno yang mempunyai kharisma khusus di
mata rakyat Indonesia. 2) Teori kepemimpinan autentik, Avolio, Luthans, dan
Walumba (Bruce J. Avolio L. Gardner, 2005) mendefinisikan pemimpin yang secara
mendalam menyadari bagaimana mereka berpikir dan berperilaku dan dipersepsikan
oleh orang lain sebagai sadar akan persepktif nilai-nilai/moral, pengetahuan,
dan kekuatan-kekuatan menyadari dari konteks di mana mereka beroperasi, percaya
diri, optimistic, ulet, dan karateristik moral tinggi. 3) Kepemimpinan diri
sendiri adalah proses mempengaruhi diri sendiri (Christopher P. Neck &
Jeffrey D. Houghton, 2006), inilah yang disebut sebelum memimpin dunia maka
haruslah bisa memimpin diri sendiri.
Apa
hubungan teori kepemimpinan dengan Sistem Pemerintahan Indonesia?
Pemerintahan dapat berjalan baik ketika terdapat pucuk
pimpinan tertinggi yang menjalankan fungsi Negara ini mampu memberikan
implementasi atas harapan Indonesia. Jika mengkaji sistem pemerintahan
Indonesia maka Pancasila dan UUD 1945 yang akan menjadi dasar hubungan
kepemimpinan tersebut. Sebab seorang pemimpin tidak akan bisa menjalankan
pemerintahan di Indonesia jika belum bisa memaknai falsafah negaranya, karena kedua
pondasi itu merupakan pandangan hidup semua rakyat di Indonesia, dan sebagai
pemimpin harus mampu mengemban kewajiban untuk mewujudkan tujuan bersama
tersebut seperti yang diungkapkan dalam kepemimpinan transformasional yakni
pemimpin yang menciptakan gambaran yang jelas mengenai sebuah visi (inspirational motivation).
Pancasila ialah Pancasila yang tercantum
pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945; Ketuhanan YME, Kemanusiaan Adil dan
Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan /Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi
Seluruh Rakyat Indonesia. Dari segi pelaksanaan sangat berkaitan dengan watak
sosok pemimpin, yang mengharuskan religiusitas seorang pemimpin untuk mampu
memimpin dirinya sendiri dalam menjadi panutan bangsa ini, mampu memberikan
inspirasi kepada bangsa ini, visioner sehingga tidak menimbulkan kebijakan yang
instan melalui kebijaksanaannya dalam berpikir.
UUD
1945 sebagai dasar Negara Indonesia yang menjelaskan pembagian kekuasaan secara
gambling dalam berbagai pasalnya yang membagi menjadi tiga kekuasaan (montesque), yaitu eksekutif, yudikatif,
dan legislatif. Melalui mekanisme pembagian kekuasaan inilah sistem
pemerintahan Indonesia berjalan dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing.
Dalam pembagian tiga kekuasaan ini sangat dibutuhkan sosok pemimpin yang bisa
mengembang tugas dengan baik. Apabila tiga kekuasaan ini dipimpin oleh
orang-orang yang tidak bertanggung jawab maka Negara ini akan mengalami
kegagalan, sehingga keberhasilan hanyalah mimpi yang menjadi khayalan rakyat
Indonesia.
Eksekutif; kepala Negara, kepala daerah, menteri, pejabat
birokrasi sampai pada tahap level daerah, merupakan bagian pemerintahan yang
melaksanakan Undang-Undang itu sendiri. Pada pembagian ini sangat membutuhkan
tipe organisasi, personil, dan keahlian sehingga dapat berjalan secara efisien
dan efektif pada rakyat. Organisasi pada bagian eksekutif ini memerlukan sosok pimpinan yang memahami falsafah
Negara ini sehingga mampu menjalankan fungsinya dengan baik dalam pemerintahan
pusat dan daerah. Apabila dipimpin oleh orang yang tak bertanggung jawab maka
menimbulkan malpraktek pemerintahan, sehingga tidak dapat dipungkiri
kasus-kasus pejabat politik kita, banyak yang masuk dalam buih tahanan akibat
penyalahgunaan wewenang kekuasaan yang dimilikinya. Sangat diperlukan pemimpin
yang mempunyai Individual
Consideration, Intelelectual
Stimulation, Inspirational
Motivation, Idealized influence
seperti apa yang diungkapkan oleh Benard M. Bass. Sebab skala eksekutif bukan hanya sebatas kepala
Negara dan kepala daerah melainkan seluruh pucuk pimpinan yang berada dalam
dunia birokrasi Indonesia.
Legislatif,
sebagai pembuat Undang-Undang dan berkembang sekaligus menjadi pengawas
Undang-Undang itu sendiri. Sebagai badan yang berwenang dalam mengambil
inisiatif pembuatan undang-undang. Jika di daerah kita mendapatkan DPRD maka
pada level pusat terdapat DPR & DPD, para dewan inilah yang seharusnya
memiliki peran penting dalam membuat peraturan yang bisa mensejahterakan
masyarakat karena merekalah para wakil rakyat yang harus bisa memperjuangkan
suara rakyat. Akan tetapi berdasarkan fakta dilapangan justru mereka membuat
kebijakan hanya sebatas untuk mendapatkan proyek-proyek dalam meraih keuntungan
partai dan pribadi. Sangat menyedihkan ketika melihat para dewan kita yang
terkena kasus korupsi sebagai contoh kecil kasus ambalang yang menyeret
sebagian besar wakil rakyat. Munculnya artis dengan sosok primadona mereka yang
background pribadinya bukan berasal
dari pemerintahan dapat mengambil kebijakan pemerintahan yang belum dipahaminya
secara utuh, dimana korelasi ilmu mereka yang hanya bisa menjalankan ilmu
politik praktis di depan masyarakat. Padahal seandainya mereka mempunyai
sifat-sifat kepemimpinan dalam Islam; fathonah
(cerdas), siddiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), dan tabligh (menyampaikan kebenaran), maka
sangat indah negeri ini akan berjalan sebab para wakil rakyat tersebut akan
lebih memperhatikan kondisi dan kesejahteraan masyarakatnya dibandingkan tidur
nyenyak saat rapat dewan.
Yudikatif,
lembaga yang berfungsi penegak undang-undang yakni MA, MK, pengadilan,
kepolisiaan dan penegak hukum lainnya tentu sangat dibutuhkan keberanian dalam
memberikan punishment dan reward. Namun faktanya di Indonesia
berapa banyak hakim dan polisi yang terjerat kasus korupsi, suap menyuap, dan
bahkan berani memberikan fasislitas hukum yang berbeda sesuai status jabatan
seseorang. Apabila hal ini berlangsung lama dan terus berkembang, maka apalah
arti fungsi pemerintahan sebagai pengatur masyarakat yang mana mengatur diri
sendiri saja belum becus. Kepemimpinan yang tegas dan berani yang selalu
memihak pada kebenaran dan keadilan, merupakan mimpi masyarakat Indonesia
seolah-olah saat ini membutuhkan tokoh pahlawan bertopeng yang bisa menyelesaikan
kasus-kasus para penegak hukum kita. Pemimpin yang bermoral seperti yang
dipaparkan dalam kepemimpinan autentik dan kepemimpinan transformasional sangat
dibutuhkan dalam pelaksanaan yudikatif
tersebut. Pendekatan dua teori kepemimpinan yang sangat singkat tadi
menimbulkan problem pada Indonesia, dimana lagi akan lahir sosok pemimpin
seperti dulu yang serius dalam memperjuangkan bangsa Indonesia ini dalam
mencapai kemerdekaannya.
Jika
semua teori kepemimpinan umum seperti yang telah dipaparkan terdapat pada
setiap unsur kepemimpinan birokrasi pemerintahan dari level atas hingga bawah
maka bukanlah mimpi jika Indonesia mempunyai pemerintahan yang solid dan bebas
dari permasalahan hukum. Namun bila sebaliknya maka Indonesia akan berujung
pada Negara gagal akibat kekosongan sosok pemimpin harapan bangsa yang bisa
menjalankan falsafah sesuai pandangan hidup masyarakatnya sesuai Pancasila dan
UUD 1945.
By: Laode Syarif
0 Komentar